Selasa, 03 April 2012

KECERDASAN EMOSIONAL SEBAGAI HASIL BELAJAR


Sugiyatmi, S.Pd.M.Pd

KECERDASAN EMOSIONAL
SEBAGAI HASIL BELAJAR

Pendahuluan
              Dalam perkembangan dasawarsa belakangan ini semakin banyak tulisan dan kajian yang menyorot secara kritis pentingnya peran kecerdasan emosional dalam mewujudkan keberhasilan atau sukses seseorang. Pandangan sebelumnya yang menempatkan kecerdasan intelektual (IQ) sebagai satu-satunya prediktor untuk menentukan keberhasilan seseorang semakin bergeser pada pandangan yang melihat adanya kecerdasan-kecerdasan lain yang juga tidak kalah pentingnya dalam menentukan sukses seseorang. Karena itu pada bagian ini Anda diajak untuk membahas pentingnya kecerdasan emosional dalam rangkaian proses pembelajaran.
              Dengan mengkaji kecerdasan emosional ini, diharapkan Anda memiliki pemahaman yang baik sebagai bagian penting dari proses pembelajaran, dan untuk mewujudkan hasil belajar yang diharapkan. Seperti telah kita kaji bersama bahwa pembelajaran tidak lagi dipahami sekedar sebagai proses transfer pengetahuan berupa mata pelajaran atau materi pelajaran kepada siswa. Pembelajaran mendapat tempat yang lebih luas, harus menjadi wahana untuk penumbuhkembangan potensi-potensi siswa secara holistik melalui peran aktif mereka menuju perubahan yang lebih baik. Dalam keadaan ini sangat diperlukan upaya-upaya konstruktif guru dalam mengembangkan dimensi-dimensi emosional siswa agar mereka semakin mampu menghadapi berbagai persoalan, bersemangat, ulet, tekun, bertanggung jawab, mampu menjalin komunikasi secara sehat dengan individu atau kelompok lain. Kesemuanya ini merupakan akar-akar emosi yang menjadi landasan untuk mencapai sukses yang diharapkan. Menyadari pentingnya hal ini, maka pada bagian ini Anda diajak untuk bersama-sama membahas tentang ciri-ciri kecerdasan emosional, kegunaan-kegunaan emosi, kecakapan-kecakapan emosi, serta penerapan kecerdasan emosional.
A.           Pengertian Kecerdasan emosional
              Istilah kecerdasan emosional pertama kali dilontarkan pada tahun 1990 oleh psikolog Peter Salovey dari Harvard University dan John Meyer dari University of New Hampshire (Shapiro, 1997:5). Beberapa bentuk kualitas emosional yang dinilai penting bagi keberhasilan, yaitu:
1.       Empati
2.       Mengungkapkan dan memahami perasaan
3.       Mengendalikan amarah
4.       Kemandirian
5.       Kemampuan menyesuaikan diri
6.       Disukai
7.       Kemampuan memecahkan masalah antar pribadi
8.       Ketekunan
9.       Kesetiakawanan
10.    Keramahan
11.    Sikap hormat
              Untuk memberikan pemahaman dasar tentang kecerdasan emosional, Daniel Golemen, pengarang buku Emotional Intelligence pada bagian buku yang diberi judul Working with Emostional mencoba menjelaskan beberapa konsep keliru yang paling lazim terjadi dan harus diluruskan. Pertama, kecerdasan emosi tidak hanya berarti “bersikap ramah”. Pada saat-saat tertentu yang diperlukan mungkin bukan “sikap ramah” melainkan, mungkin sikap tegas yang barangkali memang tidak menyenangkan, tetapi mengungkapkan kebenaran yang selama ini dihindari. Kedua, kecerdasan emosi bukan berarti memberikan kebebasan kepada perasaan untuk berkuasa- “memanjakan perasaan-perasaan, melainkan mengelola perasaan-perasaan sedemikian rupa sehingga terekspresikan secara tepat dan efektif, yang memungkinkan orang bekerja sama dengan lancar menuju sasaran bersama. Tingkat kecerdasan emosi tidak terikat dengan faktor genetis, tidak juga hanya dapat berkembang pada masa kanak-kanak. Tidak seperti IQ yang berubah hanya sedikit setelah melewati usia remaja, kecerdasan lebih banyak diperoleh melalui belajar dari pengalaman sendiri, sehingga kecakapan-kecakapan kita dalam hal ini dapat terus tumbuh (Goleman, 2000: 9).
              Hasil-hasil penelitian menunjukkan bahwa keterampilan EQ akan mampu membuat anak-anak bersemangat tinggi dalam belajar, atau untuk disukai teman-temannya di tempat-tempat bermain, juga akan membantunya dua puluh tahun kemudian ketika ia telah masuk dalam dunia kerja atau ketika sudah berkeluarga. Dalam sebuah survei nasional terhadap apa yang diinginkan oleh pemberi kerja baru, keterampilan-keterampilan teknik khusus tidak seberapa penting dibanding kemampuan dasar untuk belajar dalam pekerjaan bersangkutan (Goleman, 2000: 19). Selain itu keterampilan-keterampilan lainnya adalah;
·             Mendengarkan dan komunikasi lisan
·             Adaptabilitas dan tanggapan kreatif terhadap kegagalan dan halangan
·             Manajemen pribadi, kepercayaan diri, memotivasi untuk bekerja meraih sasaran, keinginan mengembangkan karier dan bangga dengan prestasi yang dicapai
·             Efektivitas kelompok dan antar pribadi, kerjasama dalam kelompok, keterampilan merundingkan perbedaan pendapat
·             Efektivitas dalam perusahaan, keinginan memberi konstribusi, potensi-potensi kepemimpinan.

Salovey dan Meyer mula-mula mendefinisikan kecerdasan emosional sebagai “himpunan bagian dari kecerdasan sosial yang melibatkan kemampuan memantau perasaan dan emosi baik pada diri sendiri maupun pada orang lain, memilah-milah semuanya, dan menggunakan informasi ini untuk membimbing pikiran dan tindakan”. Pendapat keduanya memberikan isyarat bahwa keterampilan EQ bukanlah lawan dari keterampilan IQ atau keterampilan kognitif, namun keduanya berinteraksi secara dinamis, baik pada tingkatan konseptual maupun empirik. Idealnya seseorang dapat menguasai keterampilan kognitif sekaligus keterampilan sosial emosional. Barangkali perbedaan paling mendasar antara IQ dan EQ adalah, bahwa EQ tidak dipengaruhi oleh faktor keturunan, sehingga membuka kesempatan bagi orang tua dan para pendidik untuk melanjutkan apa yang telah disediakan oleh alam agar anak mempunyai peluang lebih besar untuk meraih kesuksesan. Dengan demikian maka kecerdasan emosional lebih merupakan hasil dari aktivitas individu dalam melatih fungsi-fungsi emosional diri sendiri atau oleh orang lain sehingga lebih merupakan hasil belajar.

B.          Ciri-ciri Kecerdasan Emosional
              Pada tahun-tahun terakhir ini sekelompok ahli psikologi sampai pada kesimpulan dan sepakat dengan Gardner bahwa konsep-konsep lama tentang IQ hanya berkisar di kecakapan lingustik dan matematika yang sempit. Gardner menilai bahwa skala kecerdasan Stanford-Binet tidak meramalkan kinerja yang sukses. Bahkan menurut sejumlah hasil penelitian, telah banyak terbukti bahwa kecerdasan emosi memiliki peran yang jauh lebih signifikan dibanding kecerdasan intelektual (IQ). Kecerdasan otak (IQ) barulah sebatas syarat minimal meraih keberhasilan, namun kecerdasan emosilah yang sesungguhnya (hampir seluruhnya terbukti) mengantarkan seseorang menuju puncak prestasi. Terbukti, banyak orang yang memiliki kecerdasan intelektual tinggi, kemudian terpuruk di tengah-tengah persaingan. Sebaliknya banyak yang mempunyai kecerdasan intelektual biasa-biasa saja, justru sukses menjadi bintang-bintang kinerja, menjadi pengusaha-pengusaha sukses, dan pemimpin-pemimpin di berbagai kelompok. Di sinilah kecerdasan emosi (EQ) membuktikan eksistensinya.
              Atas dasar itulah maka berkembang pandangannya tentang kecerdasan lain yang lebih menekankan pada pemahaman tentang perasaan, dan mengakui betapa pentingnya kemampuan emosional dan kemampuan komunikasi dalam hiruk pikuk kehidupan. Ahli-ahli psikologi lain termasuk diantaranya Stenberg dan Salovey telah menganut pandangan yang lebih luas dan berusaha menemukan kembali kerangka yang dibutuhkan manusia untuk meraih sukses dalam kehidupannya, dan menuntun penelitian tentang betapa pentingnya kecerdasan pribadi atau kecerdasan emosional.
              Seperti telah dikemukakan terdahulu bahwa kecerdasan akademik, nilai-nilai intelektual yang selama ini merupakan sesuatu yang sangat dibanggakan bahkan seakan-akan menjadi satu-satunya indikator dalam menentukan keberhasilan dan kesuksesan seseorang semakin diragukan, bahkan menimbulkan kekecewaan pada sejumlah orang. Prestasi akademik yang tinggi, predikat juara, ternyata tidak cukup mampu memberikan bekal untuk dapat merespon berbagai gejolak, kesulitan-kesulitan, dan berbagai dinamika kehidupan lingkungan yang sangat dinamis. Berbagai pihak mulai memahami bahwa ada sisi lain yang lebih penting atau sekurang-kurangnya sama kedudukan dan sama pentingnya dengan kecerdasan akademik. Kecerdasan lain selain dari kecerdasan akademik ini justru lebih banyak menentukan sikap positif seseorang, kemampuan melihat masalah dengan kelapangan jiwa, kemampuan mengatasi berbagai konflik internal maupun eksternal, kemampuan mengatasi kegagalan dan pada akhirnya mencapai kesuksesan. Kecerdasan yang oleh banyak kalangan akan memberikan kekuatan lebih besar dalam diri seseorang, yang dinamakan kecerdasan emosional.
              Goleman menggambarkan beberapa ciri kecerdasan emosional yang terdapat pada diri seseorang berupa
1.       Kemampuan memotivasi diri sendiri;
2.       Ketahanan menghadapi frustasi;
3.       Kemampuan mengendalikan dorongan hati dan tidak melebih-lebihkan kesenangan;
4.       Kemampuan menjaga suasana hati dan menjaga agar beban stres tidak melumpuhkan kemampuan berpikir, berempati dan berdo’a.

              Kemampuan-kemampuan ini ternyata mampu memberikan kontribusi yang lebih besar terhadap diri seseorang untuk mampu mengatasi berbagai masalah kehidupan.
              Kemampuan memotivasi diri sendiri merupakan kemampuan internal pada diri seseorang berupa kekuatan menjadi suatu energi yang mendorong seseorang untuk mampu menggerakkan potensi-potensi fisik dan psikologis atau mental dalam melakukan aktivitas tertentu sehingga mampu mencapai keberhasilan yang diharapkan. Seperti diketahui bahwa di dalam diri setiap anak terkandung kekuatan berupa potensi yang tidak secara otomatis dapat didayagunakan oleh seseorang untuk mencapai sesuatu. Sebagai contoh, seorang anak memiliki kemampuan menyelesaikan 50 item soal dalam suatu latihan sesuai dengan waktu yang ditentukan. Namun dalam kenyataannya anak tersebut hanya mampu menyelesaikan separoh dari latihan yang diberikan, selebihnya tidak dikerjakan dengan alasan merasa lelah, jenuh, atau ingin melakukan aktivitas lain. Demikian pula mungkin Anda seringkali menyaksikan seorang anak belajar di rumah hanya beberapa saat dari waktu yang disediakan, meskipun orang tuanya mendampingi mereka. Akhirnya pekerjaan rumah yang diberikan tidak dapat dikerjakan seluruhnya. Pada sisi lain Anda juga sering menyaksikan seseorang anak belajar atau mengerjakan tugas-tugas latihan secara tekun selama berjam-jam tanpa mau beranjak dari tempat duduknya dengan menunjukkan wajah yang gembira. Seorang pekerja mampu mengerjakan pekerjaannya secara tekun dan disiplin tanpa ada pengawasan atau perintah, sehingga tugas-tugas yang diberikan kepadanya mampu mencapai hasil yang optimal seperti yang ia harapkan. Gambaran tersebut adalah sebagian dari contoh kemampuan seseorang memotivasi dirinya sehingga ia mampu menjadikan kekuatan dalam dirinya sebagai energi yang mampu mengoptimalisasikan kekuatan dirinya untuk mencapai keberhasilan dan sukses yang diinginkan.
              Walaupun kemampuan memotivasi diri menjadi sesuatu yang sangat penting sebagai wujud dari kemandirian anak, namun dalam proses perkembangannya anak masih memerlukan peran orang tua untuk memfasilitasi peningkatan motivasi mereka. Untuk itu sebagai orang tua maupun guru dapat membantu mengembangkan kemampuan menumbuhkan motivasi diri anak melalui:
a.       Mengajarkan anak mengharapkan keberhasilan
b.       Menyediakan kesempatan bagi anak untuk menguasai lingkungannya
c.       Memberikan pendidikan yang relevan dengan gaya belajar anak
d.       Mengajarkan anak untuk menghargai sikap tidak mudah menyerah
e.       Mengajarkan anak pentingnya menghadapi dan mengatasi kegagalan

              Dalam melaksanakan prose panjang kehidupan, bahkan dalam melakukan aktivitas sehari-hari seseorang tidak mungkin melepaskan diri dari masalah. Kemampuan yang harus dikembangkan pada setiap anak utamanya bukan kemampuan untuk menghindari terjadinya masalah akan tetapi kemampuan melihat secara jernih setiap masalah yang dihadapi, untuk selanjutnya mampu memobilasi kekuatan diri dalam mengatasi persoalan-persoalan yang dihadapi tersebut. Harahap (1987) memaparkan berbagai kasus yang menggambarkan bagaimana seseorang yang menghadapi masalah, kemudian sanggup mengkaji kembali masalah-masalah yang dihadapinya serta menemukan jalan keluar yang lebih baik melalui sebuah buku yang ditulisnya dengan dengan judul “Jadikanlah Masalah Sebagai Sahabat”. Dalam resume buku tersebut diungkapkan bahwa sepanjang hidup ini kita selalu menghadapi masalah. Ada yang mudah diselesaikan, ada yang sulit, dan bahkan ada yang musykil. Dapatkah kita membayangkan apabila hidup ini tanpa masalah. Masalah yang kecil mungkin dapat kita selesaikan dengan mudah. Masalah yang rumit, yang kalau tidak dapat diselesaikan dapat berkembang biak, beranak, bercucu bahkan menjadi kusut. Masalah sesungguhnya dapat pula dijadikan guru. Masalah akan membantu daya pikir Anda, bahkan menjadi orang bijaksana.
              Kemampuan menghadapi masalah akan mendorong anak untuk memiliki daya tahan yang lebih tinggi bilamana suatu saat ia dihadapkan pada persoalan-persoalan yang lebih kompleks dan rumit yang mungkin menyeret dirinya menjadi frustasi. Bilamana keadaan yang buruk terjadi, maka anak diharapkan dapat mengendalikan diri, menata emosinya sehingga tidak melakukan tindakan-tindakan yang dapat merugikan dirinya sendiri maupun orang lain.
              Sejumlah pandangan memberikan saran untuk dapat mengendalikan emosi agar tidak berkembang kearah negatif antara lain pentingnya pengenalan diri melalui pemikiran yang jernih untuk menyadari perasaan diri sepenuhnya, tidak tenggelam dalam permasalahan serta tidak mudah pasrah. Kesadaran diri adalah kecakapan yang diusahakan untuk diperkuat oleh sebagian besar perangkat spikoterapi, karena seperti dikemukakan oleh Freud bahwa sebagian besar kehidupan emosional berada dalam alam bawah sadar; perasaan-perasaan yang bergejolak  dalam diri kita tidaklah senantiasa melintasi ambang kesadaran.
              Bilamana pengenalan diri dapat dilakukan dengan baik, maka akan sangat membantu seseorang untuk dapat menguasai diri, yakni kemampuan untuk menghadapi badai emosi terutama berupa nafsu seperti amarah yang meluap-luap, cemas yang berlebihan, depresi berat dan gangguan emosional yang berlebihan. Pengendalian terhadap seseorang yang amarah misalnya dapat dilakukan dengan menenangkan diri dan kemudian dengan cara yang konstruktif/terarah menghadapi orang-orang tersebut untuk menyelesaikan permasalahannya. Demikian pula dengan kecemasan yang seringkali menjurus pada kekhawatiran kronis harus dipahami dengan hati yang jernih bagaimana proses kecemasan itu terjadi.
              Upaya lain yang dapat mengendalikan agar seseorang tidak terjebak dalam kecemasan, bersikap pasrah atau depresi adalah melawan dorongan hati. Tidak ada keterampilan psikologis yang lebih penting selain melawan dorongan hati, karena ia merupakan akar segala kendali emosi, kemudian seseorang harus mempunyai harapan dan optimisme dalam kerangka bagaimana seseorang memandang keberhasilan dan kegagalan mereka.
              Kemampuan mengendalikan dorongan hati dan tidak melebih-lebihkan kesenangan menjadi ciri dari kecerdasan emosi. Kematangan berpikir anak, tidak dapat sekedar ditunjukkan oleh kemampuan nalar, akan tetapi justru lebih banyak ditunjukkan melalui isyarat-isyarat emosional. Ketika anak menghadapi sukses seringkali kita melihat mereka mengaktualisasikan dengan sikap yang berlebih-lebihan dan tidak jarang lupa dengan lingkungannya.
              Dalam pembahasan emosi faktor empati merupakan hal penting yang harus dikembangkan, karena dengan kemampuan berempati seseorang akan dapat mengetahui bagaimana perasaan orang lain. Itulah sebabnya Martin Hoffman berpendapat bahwa akar moralitas ada di dalam emapti, dan dari studi yang dilakukan di Jerman dan Amerika menemukan bahwa semakin empatik seseorang, maka semakin besar kecenderungan seseorang mendukung prinsip moral. Dibalik itu ditemukan pula bahwa orang-orang yang dengan tega melakukan berbagai kejahatan seperti sosiopat ternyata tidak memiliki empati.
              Kemampuan-kemampuan mengadakan hubungan antar pribadi atau keterampilan sosial perlu ditumbuhkembangkan pada setiap anak agar mereka secara dini dapat diterima dan tidak dikucilkan oleh orang lain dan memiliki kepekaan sosial yang tinggi terhadap orang lain. Hal ini sangat dimungkinkan untuk dilatih atau diajarkan melalui aktivitas-aktivitas kongkrit mulai dari hal-hal kecil dan sederhana yang ada di lingkungan anak.
              Kemampuan menjaga suasana hati dan menjaga agar beban stres tidak melumpuhkan kemampuan berpikir juga merupakan salah satu ciri dari kecerdasan emosional. Kemampuan ini terkait dengan kemampuan mengatasi masalah, karena seseorang yang telah mampu mengatasi masalah-masalah yang dihadapi akan lebih dewasa dalam menghadapi persoalan-persoalan yang lebih berat. Ketika seseorang dihadapkan pada persoalan-persoalan yang berat. Ketika seseorang dihadapkan pada persoalan-persoalan yang berat, misalnya duka yang sangat mendalam, kekecewaan yang berat secara tidak sadar emosinya dapat mengalahkan nalar. Bilamana hal itu terjadi sangat mungkin seseorang melakukan tindakan di luar kontrol nalarnya yang mungkin dapat merusak keselamatan dirinya.
              Dalam berbagai kasus sering diungkapkan akibat-akibat yang terjadi karena seseorang tidak mampu mengendalikan suasana hati dalam menghadapi beban stres. Ketika anak kehilangan orang tua yang sangat ia cintai yang selama ini dirasakannya sebagai tempat ia harus mengadukan segala persoalan, sebagai penanggung jawab segala tiba-tiba hilang dalam suatu peristiwa yang tragis, bencana dan sebagainya. Hal ini tentu menuntut keterampilan emosional yang tinggi untuk dapat mengendalikan diri.
              Goleman memberikan perhatian yang besar terhadap kebutuhan seseorang untuk mengakui adanya kekuatan yang lain yang lebih agung, lebih kuasa di luar dirinya. Itulah sebabnya menurut Goleman kemampuan berdoa juga merupakan ciri yang ada pada kecerdasan emosional. Seseorang yang memiliki kecerdasan emosional akan dapat melihat persoalan-persoalan secara jernih, berupaya mengatasi persoalan-persoalan tersebut dan berharap adanya kekuatan penolong Yang Maha Pencipta. Adakalanya seseorang yang telah mampu mencapai sukses, kemudian ia kembali berada dalam kehampaan, tidak mengerti lagi apa yang harus diperbuat. Kesadaran akan adanya eksistensi berupa kemampuan untuk mampu menemukan arah kehidupan yang benar ketika dirinya mencapai sukses oleh Ary Ginanjar Agustian merupakan bentuk kecerdasan melebihi kecerdasan emosional tetapi memadukan dua kecerdasan tersebut, yang disebutnya Kecerdasan Emosional Spiritual (ESQ). Ketika seseorang dengan kemampuan EQ dan IQ-nya berhasil mendaki kesuksesan, acapkali seseorang disergap oleh perasaan ‘kosong’ dan hampa dalam celah batin kehidupannya. Setelah prestasi puncak dapat dipijak, ketika semua pemuasan kebendaan telah diraih, setelah uang hasil jerih usaha berada dalam genggaman, ia tidak lagi tahu ke mana harus melangkah, untuk tujuan apa semua prestasi itu diraihnya. Di posisi inilah ESQ tampil menjawab. ESQ sebagai sebuah metode dan konsep yang jelas dan pasti adalah jawaban dari kekosongan batin sang jiwa (Agustian, 2007).
              Pembahasan berkenaan dengan ESQ merupakan bagian penting untuk dikaji dan dipahami secara mendalam. Tanpa mengesampingkan eksistensi kajian ESQ, bagian ini lebih difokuskan pada uraian tentang EQ, dengan melakukan pembahasan bersama tentang kegunaan dan penerapannya di dalam proses pembelajaran.

C.          Emosi dan Kegunaannya
              Dalam proses pembelajaran konvensional, aspek emosional secara eksplisit tidak mendapat tempat dalam pembahasan dan uraian materi perkuliahan atau pelajaran sehingga tidak menjadi bagian yang harus dipelajari. Padahal dalam kenyataannya, keterampilan-keterampilan emosional seperti diungkapkan sebelumnya dapat dipelajari dan dilatih kepada anak karena disadari banyak yang dapat dilakukan guru, orang tua dan orang-orang dewasa lainnya dalam membantu anak mewujudkan kecerdasan emosinya. Hasil-hasil penelitian menunjukkkan bahwa anak-anak yang dilatih emosinya pada permulaan masa kanak-kanaknya sungguh-sungguh mengembangkan jenis keterampilan sosial ini di kemudian hari, keterampilan sosial mampu membantu mereka untuk diterima oleh rekan-rekan sebaya dan untuk menjalin persahabatan-persahabatan (Gottman & DeClaire, 1997: 29).
              Kecerdasan emosi merupakan bagian dari aspek kejiwaan seseorang yang paling mendalam, dan merupakan suatu kekuatan, karena dengan adanya emosi itu manusia dapat menunjukkan keberadaannya dalam masalah-masalah manusiawi. Emosi menyebabkan  seseorang memiliki rasa cinta yang sangat dalam sehingga seseorang bersedia melakukan sesuatu pengorbanan yang sangat besar sekalipun, walau kadang-kadang pengorbanan itu secara lahiriah tidak memberikan keuntungan langsung pada dirinya bahkan mungkin mengorbankan dirinya sendiri. Kekuatan emosi seringkali mengalahkan kekuatan nalar, sehingga ada suatu perbuatan yang mungkin secara nalar tidak mungkin dilakukan seseorang, tetapi karena kekuatan emosi kegiatan itu dilakukan, seperti halnya peristiwa dari kasus yang diungkapkan di awal tulisan Daniel Goleman, dimana karena cinta teramat kuat mendorong orang tua secara spontan memilih mengutamakan menyelamatkan anak tercintanya mengalahkan hasrat menyelamatkan diri sendiri.
              Para ahli sosiobiologi menyatakan keunggulan perasaan dibandingkan nalar, sehingga pada saat-saat tertentu emosi ditempatkan sebagai titik pusat jiwa manusia. Menurut para ahli tersebut emosi menuntun kita menghadapi saat-saat kritis dan tugas-tugas yang riskan bila hanya diserahkan kepada otak. Oleh karena itu pandangan mengenai kodrat manusia yang mengabaikan kekuatan emosi, jelas merupakan pandangan yang amat picik. Sebutan Homo sapiens, merupakan hal yang keliru dalam pola pemahaman serta visi baru yang ditawarkan oleh sains saat ini tentang emosi dalam kehidupan kita. Hal-hal yang berkaitan dengan pengambilan keputusan dan tindakan, aspek perasaan sama pentingnya bahkan seringkali lebih penting daripada nalar. Mereka mengemukakan bahwa “kita sudah terlampau lama menekankan pentingnya nilai dan makna rasional murni yang menjadi tolok ukur IQ dalam kehidupan manusia, padahal kecerdasan tidak akan berarti jika tidak didukung oleh kekuatan emosi”.
              Karena emosi merupakan suatu kekuatan yang dapat mengalahkan nalar, maka harus ada upaya untuk mengendalikan, mengatasi dan mendisiplinkan kehidupan emosional, dengan memberlakukan aturan-aturan guna mengurangi ekses-ekses gejolak emosi, terutama nafsu yang terlampau bebas dalam diri manusia yang seringkali mengalahkan nalar. Pengembangan emosi di kalangan anak-anak akan membantu mereka mengambil keputusan dan dapat menilai mana sesuatu yang harus dilakukan dan mana tidak boleh dilakukan. Dengan demikian berarti pula melindungi mereka dari berbagai propaganda dan slogan yang tidak sesuai dengan diri dan nilai-nilai yang dianutnya.
              Manusia secara universal memiliki dua jenis tindakan pikiran, yaitu tindakan pikiran emosional (perasaan) dan tindakan pikiran rasional (berpikir). Kedua cara pemahaman yang secara fundamental berbeda ini bersifat saling mempengaruhi dalam membentuk kehidupan mental manusia. Pertama pikiran rasional, adalah model pemahaman yang lazimnya kita sadari : lebih menonjol kesadarannya, bijaksana, mampu bertindak hati-hati dan merefleksi. Tetapi bersamaan dengan itu ada sistem pemahaman yang lain: yang impulsif dan ber-pengaruh besar bila kadang-kadang tidak logis, yaitu fikiran emosional. Dikotomi emosional/rasional kurang lebih sama dengan istilah awam antara “hati” dengan “kepala”. Mengatakan sesuatu yang benar di dalam hati merupakan tingkat keyakinan yang berbeda yang cenderung merupakan kepastian lebih mendalam daripada menanggapnya benar dengan menggunakan akal.
              Kedua fikiran tersebut, yang emosional dan yang rasional, pada umumnya bekerja dalam keselarasan yang erat, saling melengkapi dalam mencapai pemahaman guna mengarahkan seseorang menjalani kehidupan duniawi. Biasanya ada keseimbangan antara pikiran emosional dan pikiran rasional, dimana emosi memberi masukan dan informasi kepada proses pikiran rasional, dan pikiran rasional memperbaiki dan terkadang memveto masukan-masukan emosi tersebut. Namun pikiran emosional dan rasional merupakan kemampuan-kemampuan yang semi mandiri, masing-masing mencerminkan kerja jaringan sirkuit yang berbeda, namun saling terkait di dalam otak. Di dalam banyak atau sebagian besar peristiwa, pikiran-pikiran ini terkoordinasi secara istimewa. Perasaan sangat penting bagi pikiran, dan pikiran sangat penting bagi perasaan.
              Jika dipahami dari struktur biologis, bahwa masalah-masalah emosi adalah bersumber dari amigdala yang merupakan bagian penting dari otak. Jika amigdala dipisahkan dari bagian-bagian otak lainnya, maka hasilnya manusia tidank memiliki kemampuan menangkap makna emosional suatu peristiwa atau yang disebut “kebutaan afektif”. Dan karena kehilangan bobot emosional, maka peristiwa-peristiwa menjadi tidak memiliki makna, misalnya menarik diri dari hubungan antar manusia, tidak lagi mengenali sahabat bahkan ibunya sendiri, tetap pasif menghadapi kecemasan. Di samping perasaan nafsu juga tergantung pada amigdala. Amigdala menempati kedudukan strategis dalam kehidupan mental, semacam penjaga psikologis, ia juga dapat menyimpan ingatan dan reportoar respons, sehingga seseorang dapat bertindak tanpa betul-betul ia menyadari mengapa dia melakukan sesuatu.
              Uraian-uraian di atas menyiratkan betapa pentingnya keseimbangan antara akal dan emosi, menyesuaikan kepala dan hati, dan bilamana keseimbangan ini goyah akan terjadi perseteruan nalar dan perasaan. Yang mendasari semua ini adalah bagaimana seseorang dapat memahami penggunaan emosi secara cerdas sehingga dia akan dapat menjalankan aktivitas kehidupannya dengan lebih baik dalam suatu keseimbangan.

D.          Kecakapan-kecakapan Emosional
              Upaya-upaya yang selama ini hampir seluruhnya diarahkan dalam meningkatkan standar akademis, pada akhir-akhir ini semakin dirasakan kepincangannya. Kecemasan yang sangat mendalam terhadap diperolehnya nilai-nilai buruk anak-anak dalam sejumlah mata pelajaran, dikejutkan lagi oleh kecemasan lain yang lebih besar lantaran banyak kasus siswa yang mengejutkan justru tidak berkaitan dengan nilai-nilai akademis tersebut, misalnya bagaimana seorang siswa dengan mudah tega membunuh teman dekatnya sendiri. Kekurangan lain yang menimbulkan kecemasan lebih besar tersebut adalah buta emosi. Kekurangan baru berupa buta emosi yang dapat menimbulkan ekses-ekses negatif lebih besar ketimbang rendahnya standar akademis justru belum dipertimbangkan dalam kurikulum sekolah yang baku.
              Tanda-tanda kekurangan perhatian terhadap aspek emosi terlihat dari banyaknya peristiwa-peristiwa kekerasan di kalangan siswa, meningkatnya kekacauan masa remaja dan beberapa eksesperilaku negatif lainnya. Di Amerika Serikat dalam tahun 1990 penahanan kaum remaja karena terlibat kasus perkosaan meningkat menjadi dual kali lipat, laju pembunuhan anak muda meningkat menjadi empat kalinya. Dalam dua dasawarsa yang sama, laju bunuh diri kaum remaja meningkat menjadi tiga kali lipat, demikian juga jumlah anak-anak berumur di bawah empat belas tahun yang menjadi korban pembunuhan. Masih banyak kasus-kasus lain yang menunjukkan kecenderungan meningkatnya prilaku-prilaku negatif dan kriminal yang sangat meresahkan.
              Penyebab paling lazim dari berbagai peristiwa di atas adalah terutama pada anak-anak adalah penyakit mental, utamanya berupa gejala-gejala depresi. Berdasarkan penilaian orang tua dan guru pada tahun 1970-an dengan keadaan pada akhir 1980-an pada anak-anak Amerika usia 7 hingga 16 tahuna rata-rata anak semakin parah dalam masalah spesifik berikut: (1) menarik diri dari pergaulan atau masalah soaial, (2) cemas dan depresi, (3) memiliki masalah dalam hal perhatian dan berpikir, (4) nakal atau agresif. Depresi atau kemerosotan emosi merupakan gejala universal kehidupan modern, dan keadaan ini akan semakin parah bilamana keluarga tidak lagi dapat berfungsi dengan baik dalam meletakkan landasan yang kuat bagi kehidupan anak.
              Tinjauan baru terhadap penyebab depresi pada kaum muda menunjukkan dengan jelas adanya cacat dalam dua bidang keterampilan emosional, yaitu keterampilan membina hubungan, dan cara menafsirkan kegagalan yang memicu timbulnya depresi. Cara menafsirkan kegagalan hidup secara pesimistik tampaknya memperbesar rasa tak berdaya dan putus asa. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa meningkatnya depresi sangat erat kaitannya dengan peristiwa politik seperti penningkatan yang terjadi setelah perang saudara. Namun apapun penyebabnya, depresi pada orang muda merupakan masalah yang mendesak, dan depresi pada anak-anak, bukan sekedar perlu diobati melainkan harus dicegah.
              Beberapa pendapat menunjukkan menghilangkan atau paling kurang menurunkan depresi pada anak, antara lain dapat dilakukan dengan mengajarkan cara melihat dan memahami kesulitan itu sendiri, melatih untuk terampil menjalin persahabatan, bergaul lebih baik dengan orang tua, dan melibatkan diri dalam kegiatan-kegiatan sosial yang diminati. Dan yang lebih penting lagi adalah mengubah pikiran-pikiran yang menekan, yang oleh seseorang pakar depresi (Kovacs) disebut vaksinasi psikologi.
              Cara yang paling terbaik untuk mencegah terjadinya berbagai tindakan negatif sebagai dampak dari depresi adalah dengan mengembangkan keterampilan emosional melalui penemuan ketahanan diri pada anak. Keterampilan ini mencakup kepandaian bergaul yang membuat orang tertarik pada mereka, keyakinan diri dan sikap optimis yang terus menerus dalam menghadapi kegagalan dan kekecewaan, kemampuan untuk dengan cepat bangkit dari kegagalan, dan sikap santai. Sebuah kemampuan prnting untuk mengendalikan dorongan hati adalah mengetahui perbedaan antara perasaan dengan tindakan, dan belajar membuat keputusan emosional yang lebih baik dengan terlebih dahulu mengendalikan dorongan dan mengidentifikasi konsekuensi sebelum melakukan suatu tindakan. Pada sisi yang lain perlu penjelasan dan aturan-aturan yang tegas tentang hak-hak, kewajiban serta segala sesuatu yang dapat merugikan dan membahayakan diri anak.

E.           Penerapan Kecerdasan Emosional
              Daya-daya emosi yang dimiliki oleh orang-orang dewasa sesungguhnya berakar dari masa kehidupan kanak-kanak. Akar perbedaan emosi meskipun untuk sebagian bersifat biologis dapat pula diselusuri dari kehidupan masa kanak-kanak dan dari dua dunia emosi terpisah yang dihuni untuk laki-laki dan yang dihuni oleh anak-anak perempuan ketika mereka tumbuh dewasa. Perbedaan-perbedaan perlakuan orang tua terhadap anak laki-laki dan anak perempuan ketika masih kanak-kanak dan perbedaan pandangan laki-laki dan perempuan itu sendiri terhadap suatu persoalan memperkuat sinyal perbedaan ketika mereka dewasa. Carol Gilligan mengungkapkan perbedaan kunci antara anak laki-laki dan perempuan, dimana laki-laki bangga karena kemandirian dan kemerdekaannya yang berpikir ulet dan mandiri, sementara anak perempuan melihat dirinya sebagai bagian dari jaringan hubungan. Oleh karena itu laki-laki terancam bilamana ada apa-apa yang dapat menantang kemandiriannya, sementara perempuan lebih terancam oleh putusnya hubungan yang mereka bina.
              Dalam berbagai bentuk kegiatan baik pada perkantoran, pada perusahaan, rumah sakit penerapan kecerdasan emosional menjadi bagian yang sangat penting. Jika hal itu dapat diterapkan pada perkantoran atau perusahaan-perusahaan orang-orang merasa lebih terbuka dan leluasa mengutarakan keluhan-keluhan sebagai kritik yang membangun, terciptanya suasana dimana keragaman dihargai dan dapat menjalin jaringan kerja yang efektif. Pada rumah sakit dokter dan perawat mau berempati, mau menyesuaikan diri dengan pasien dan mau menjadi pendengar dan penasehat yang baik. Kesemuanya ini menyiratkan betapa kecerdasan emosional itu menjadi penting untuk diterapkan dalam semua aktivitas yang dilakukan baik secara pribadi maupun dalam aktivitas-aktivitas kelompok.
              Dalam proses pembelajaran, penerapan kecerdasan emosional dapat dilakukan secara luas dalam berbagai sesi, aktivitas dan bentuk-bentuk spesifik pembelajaran. Pemahaman guru terhadap kecerdasan emosional serta pengetahuan tentang cara-cara penerapannya kepada anak pada saat ini merupakan bagian penting dalam rangka membantu mewujudkan perkembangan potensi-potensi anak secara optimal. Karena itu berikut diuraikan bentuk kongkrit upaya mengembangkan kecerdasan emosional anak.
1.               Mengembangkan Empati dan Kepedulian
Pada uraian di atas salah satu bagian yang telah kita bahas bersama adalah tentang ciri-ciri kecerdasan emosional. Satu di antara ciri kecerdasan emosional tersebut adalah kemampuan menghadirkan sesuatu yang terjadi pada orang lain dalam emosi kita sendiri.
              Anak-anak yang memiliki empati kuat cenderung tidak begitu agresif dan rela terlibat di dalam kegiatan sosial, misalnya menolong orang lain dan bersedia berbagi. Anak-anak yang bersikap empati pada umumnya lebih disukai rekan-rekannya dan orang dewasa serta lebih berhasil baik di sekolah maupun di tempat kerja. Demikian juga anak-anak yang memiliki empati yang kuat ini memiliki kemampuan lebih besar untuk menjalin hubungan dengan teman sejawat dan dengan orang lain.
              Beberapa cara yang perlu dilatihkan kepada anak untuk mengembangkan sikap empati dan kepedulian, antara lain:
a.       Memperketat tuntutan pada anak mengenai sikap peduli dan tanggung jawab
b.       Mengajarkan dan melatih anak mempraktekkan perbuatan-perbuatan baik
c.       Melibatkan anak di dalam kegiatan-kegiatan layanan masyarakat

2.           Mengajarkan Kejujuran dan Integritas
              Menurut Paul Ekman, penulis buku Why Children Lie, ada bermacam-macam alasan mengapa anak tidak berkata benar; sebagian dapat dimengerti, sebagian yang lain tidak. Anak kecil paling sering berbohong dengan maksud untuk menghindari hukuman, untuk mendapatkan sesuatu yang mereka inginkan, atau untuk mendapatkan pujian dari sesama teman. Anak remaja sering berbohong untuk melindungi privasinya, untuk menguji kewibawaan orang tua dan untuk melepaskan diri dari rasa malu. Kohlberg mengungkapkan bahwa kebohongan dapat dilakukan anak agar terlepas dari hukuman (Kohlberg, 1995).
              Kebanyakan pengamat masalah anak-anak menilai bahwa walaupun berbohong pada batas-batas tertentu dapat dimaklumi dari segi perkembangan anak, namun hal ini dapat menjadi masalah bila berbohong menjadi kebiasaan atau berbohong dalam hal yang penting bagi kepentingan diri mereka yang lebih substantive. Seperti yang ditulis oleh Ekman, “berbohong mengenai masalah serius bukan hanya suatu masalah yang akan mempersulit tugas orang tua. Berbohong mengikis kedekatan dan keakraban. Kebiasaan berbohong menumbuhkan benih ketidakpercayaan, karena perbuatan ini menghianati kepercayaan orang lain. Hampir tidak mungkin kita tinggal bersama orang lain yang sering berbohong. Di samping itu hasil penelitian terhadap anak-anak yang sering berbohong menunjukkan bahwa mereka juga sering terlibat dalam berbagai bentuk perilaku antisosial, termasuk menipu, mencuri, dan aksi kekerasan. Hal ini terjadi antara lain akibat kenyataan anak-anak yang suka berbohong biasanya cenderung berteman dengan anak-anak yang tidak jujur dan mereka mengembangkan kelompok sebaya yang seringkali memiliki kebiasaan yang sama.
              Beberapa hal penting yang dapat dilakukan guru atau orang tua dalam menumbuhkan kejujuran anak, antara lain adalah:
a.       Usahakan agar pentingnya kejujuran terus menjadi topik perbincangan dalam rumah tangga, kelas dan sekolah.
Di dalam kelas, sambil mengajarkan mata pelajaran-mata pelajaran tertentu kepada anak, guru dapat memasukkan berbagai cerita yang bermuatan kejujuran. Hal ini dapat dilakukan ketika guru mengajarkan pada mata pelajaran apa saja. Yang perlu ditekankan kembali bahwa menanamkan kejujuran kepada siswa tidak hanya menjadi muatan mata pelajaran-mata pelajaran tertentu saja, atau oleh guru-guru tertentu saja akan tetapi harus dilakukan oleh semua warga sekolah.
b.       Membangun kepercayaan
Membangun kepercayaan anak dapat dilakukan baik dengan menyampaikan ceritera-ceritera yang bertemakan saling kepercayaan, atau melalui berbagai bentuk permainan.
              Dalam proses pembelajaran di kelas, guru dapat melatih saling percaya di kalangan siswa melalui kegiatan-kegiatan yang secara langsung melibatkan peran mereka, misalnya memberikan kepercayaan kepada siswa untuk menilai pekerjaan-pekerjaan mereka, atau menilai pekerjaan rekan-rekan siswa yang lain.
c.       Menghormati privasi anak
Menghormati privasi anak berarti memberikan ruang yang berarti bagi tumbuhnya rasa percaya pada anak dan penghargaan pada anak. Guru dan orang tua harus berupaya untuk menghargai hal-hal yang mungkin dapat mengurangi harga diri mereka di depan teman-teman sebaya, orang tua maupun guru.

3.           Mengajarkan Memecahkan Masalah
              Dari pengamatan yang kita lakukan, pada umumnya orang tua dan guru kurang memberikan kepercayaan penuh kepada anak-anak untuk memecahkan masalah. Kebanyakan orang tua begitu cepat memberikan bantuan kepada anak dalam menyelesaikan sesuatu, padahal bantuan itu belum betul-betul dibutuhkan. Demikian pula begitu sering orang tua maupun guru membuatkan suatu keputusan bagi anak-anak, padahal bilamana mereka doberikan kesempatan dan dorongan yang lebih besar, mungkin sekali mereka mampu memandang suatu masalah dari segi segala sisi dan memecahkan masalah yang rumit sekalipun yang sesungguhnya sangat berguna bagi kelangsungan dan kualitas hidup mereka.
              Hal sangat penting yang harus diketahui para pendidik adalah kemampuan memecahkan masalah merupakan bagian yang menyatu dengan proses pertumbuhan. Pertumbuhan intelektual dan emosional anak didorong oleh proses pemecahan masalah. Seperti keterampilan EQ yang lainnya, kemampuan anak untuk memecahkan masalah umumnya sejalan dengan peningkatan usia.
              Anak-anak sanggup memecahkan masalah yang lumayan rumit bila mereka terbiasa dibimbing menggunakan istilah-istilah yang akrab dan kongkrit bagi mereka, walaupun seringkali juga gagal menjawab soal yang sama jika soal itu disajikan dalam bentuk abstrak yang tidak jelas. Oleh karena itu dalam proses pembelajaran, anak-anak harus sesering mungkin diajak untuk memecahkan masalah yang sesuai dengan tingkat usia dan pengalaman yang mereka dapat. Bilamana anak dibiasakan memecahkan masalah, maka berarti guru atau orang tua telah membangun gudang pengalaman yang kelak dapat mereka gunakan untuk memecahkan masalah-masalah berikutnya.
              Dalam sebuah buku yang berjudul Becoming A Teacher,  Parkey (1997) mengemukakan bahwa untuk menghadapi tantangan masa depan, siswa akan membutuhkan pengetahuan, keterampilan, sikap dan nilai di sembilan area kunci yaitu; (a) kemampuan berbahasa, matematiksa dan sain, (b) keterampilan teknologi baru, (c) kemampuan pemecahan masalah, pikiran kritis dan kreativitas, (d) kesadaran sosial, keterampilan berkomunikasi dan membangun sinergisitas kelompok, (e) kesadaran global dan keterampilan konservasi, (f) pendidikan kesehatan dan kesejahteraan, (g) orientasi moral dan etika, (h) kesadaran estetika, (i) pendidikan seumur hidup untuk kemandirian belajar.
              Jelas sekali bahwa kemampuan pemecahan masalah merupakan salah satu kompetensi yang harus diajarkan kepada siswa. Dalam praktik pembelajaran, mengajarkan anak memecahkan masalah akan lebih baik bilamana juga sekaliguss diajarkan cara-cara berpikir sistematik. Karena itu langkah-langkah pemecahan masalah berikut sangat tepat untuk diterapkan, yaitu:
a.       Mengidentifikasi masalah
b.       Memikirkan alternatif pemecahan
c.       Membandingkan alternatif-alternatif pemecahan yang mungkin akan dipilih
d.       Menentukan pemecahan yang terbaik

              Dalam mengajarkan siswa memecahkan maslah, guru hendaknya memperhatikan secara sungguh-sungguh pengalaman-pengalaman siswa, terutama sekali di kalangan siswa yang berada pada jenjang pendidikan yang lebih rendah. Hal ini disebabkan karena anak-anak belajar memecahkan masalah melalui pengalaman-pengalaman mereka. Upayakan sedapat mungkin memberikan tantangan untuk memecahkan masalah, tanpa banyak campur tangan guru. Di samping itu guru perlu mengembangkan suasana yang mendukung pemecahan masalah tersebut yang memungkinkan mereka merasa lebih percaya diri serta merasa memiliki keleluasaan dalam mengambil keputusan yang tepat.


Rangkuman
              Hasil belajar yang diharapkan dicapai oleh anak adalah terjadinya perubahan perilaku secara holistik. Pandangan yang menitikberatkan hasil belajar dalam bentuk penambahan pengetahuan saja merupakan wujud dari pandangan yang sempit, karena belajar dan pembelajaran harus dapat menyentuh dimensi-dimensi individual anak secara menyeluruh, termasuk dimensi emosional yang dalam waktu cukup lama luput dari perhatian. Hal ini dipandang semakin penting karena dari berbagai hasil penelitian juga menunjukkan bahwa keberhasilan belajar ternyata lebih banyak ditentikan oleh faktor-faktor emosi, antara lain daya tahan, keuletan, ketelitian, disiplin, rasa tanggung jawab, kemampuan menjalin kerjasama, motivasi yang tinggi serta beberapa dimensi emosional lainnya. Bahkan sukses yang dicapai dalam kehidupan yang lebih luas, terbukti juga lebih banyak ditentukan oleh kecerdasan emosional seseorang.
              Sebagian besar ahli yang mengkaji aspek-aspek emosi menyimpulkan bahwa kecerdasan emosional merupakan hasil dari proses belajar, walaupun beberapa diantaranya ada yang berpendapat bahwa hal itu dipengaruhi oleh faktor bawaan. Oleh sebab itu maka melalui kegiatan pembelajaran, guru harus menyediakan atau menciptakan ruang yang luas dan iklim yang kondusif untuk berkembangnya kecerdasan emosional anak. Kemampuan guru melatih setiap dimensi-dimensi emosi harus dipandang sebagai bagian esensial pembelajaran. Dengan demikian berarti pula perubahan-perubahan yang terjadi pada anak melalui kegiatan pembelajaran harus menyentuh dimensi-dimensi emosional ini, bukan hanya dilihat dari perubahan kognitif belaka.
              Penerapan kecerdasan emosional dapat dilakukan secara luas dalam berbagai sesi, aktivitas dan bentuk-bentuk spesifik pembelajaran. Untuk dapat mengembangkan kecerdasan emosional perlu diawali dengan pemahaman guru tentang kecerdasan emosional serta pengetahuan tentang cara-cara penerapannya. Karena itu penting bagi guru untuk mengkaji aspek-aspek yang berkaitan dengan emosi, bagaimana melatih dimensi-dimensi emosi melalui proses pembelajaran sehingga  diharapkan semuanya dapat bermuara pada peningkatan potensi-potensi anak secara optimal.


DAFTAR PUSTAKA

Agustian, Ary G. (2007). ESQ; Emotional Spiritual Quotien. Rahasia Sukses Membangun Kecerdasan Emosi dan Spiritual. New Edition. Jakarta: Arga

DepPortes, B & Hernacki. (2001). Quantum Learning Membiasakan Belajar Nyaman dan Menyenangkan. Bandung: Kaifa.

DePorter, Bobby. (2000). Quantum Teaching. Mempraktikkan Quantum Learning di Ruang-ruang Kelas. Bandung: Kaifa.

Goleman, Daniel. (2000). Kecerdasan Emosi untuk Mencapai Prestasi Puncak. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Gottman, John &DeClaire, Joan. (1997). Kiat-kiat Membesarkan Anak yang Memiliki Kecerdasan Emosional. Alih Bahasa: hermaya. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Kohlberg, L. (1995). Tahap-tahap Perkembangan Moral (Penerjemah; John de Santo dan Agus Cremers). Yogyakarta: Kanisius).

Parkay, Forrest W. (1998). Becaming A Teacher. Fourt Edition. USA: Allyn and Bacon.